Momok Seks Bebas dan Penyebaran HIV/AIDS di Kalangan Anak Muda
HIV (Human Immunodeficiency Virus) di Indonesia pada tahun 2021 sebanyak 36.902 kasus baru, sedangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sebanyak 5.750 kasus. Penderita HIV ini mayoritas 70% merupakan laki-laki, sisanya perempuan. Proporsi penderita AIDS yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 75%, persentasenya jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan penderita AIDS yang sebanyak 25%. (Kemenkes RI, 2022).
Pada tahun 2022, menurut laporan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dari Januari hingga Juni 2022, sebanyak 1188 anak Indonesia positif HIV. Kelompok terbanyak yang terinfeksi HIV dalam rentang usia remaja 15-19 tahun sejumlah 741 kasus, lalu pada usia di bawah 4 tahun sejumlah 274 kasus, dan usia 5-14 tahun sejumlah 173 kasus. Sementara, menurut data Kemenkes RI hingga Juni 2022, total pengidap HIV AIDS yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia mencapai 519.158 orang.
Berbagai kanal berita di tahun 2022 menunjukkan kasus HIV yang banyak terjadi di kalangan mahasiswa. Salah satu contohnya, temuan kasus di Kota Bandung. Sebanyak 414 mahasiswa dinyatakan positif terinfeksi HIV/AIDS, KPA (Komisi Pemberantasan AIDS) Kota Bandung mencatat dominasi yang terpapar HIV/AIDS berusia produktif pada rentang 20-29 tahun sekitar 44,84%.
Sebenarnya apa yang membuat kasus HIV/AIDS ini menjadi momok yang tak kunjung usai? Jika kita menilik lebih jauh, perkembangan teknologi yang ada saat ini turut menyumbang dalam memudahkan penyebaran HIV/AIDS di kalangan anak muda. Penyebaran saat ini bukan lagi melalui jarum suntik narkoba, namun sudah bergeser kepada seks yang tidak aman, bahkan cenderung bebas.
Kecepatan akses internet dan mudahnya dalam memperoleh informasi membuat para muda mudi marak menonton pornografi, mencoba kencan online atau yang sedang musim saat ini, yaitu Friends With Benefit (FWB) yang sering kita temui di cuitan-cuitan media sosial twitter. Mirisnya lagi, bukan hanya sekedar kencan biasa, namun juga dibumbui kegiatan sesksual tanpa pengaman. Tanpa kita sadari, kegiatan seks berisiko ini mempengaruhi penyebaran HIV/AIDS karena dilakukan secara bergonta-ganti dan tanpa pengaman. Ditambah para penikmat FWB ini melakukan tanpa memikirkan risiko kedepannya. Tidak jarang dari mereka yang tidak mengetahui status kesehatannya apakah ia terinfeksi HIV/AIDS atau tidak.
Berkaca dari hal ini, pengetahuan atau edukasi seputar seks harus ditanamkan kepada generasi muda. Harapannya agar ke depan tidak ada lagi mahasiswa terinfeksi HIV akibat hubungan seks tidak aman. Pentingnya memberikan edukasi tentang reproduksi dapat dimulai sejak usia dini.
Edukasi seputar seks ini jadi pekerjaan rumah bersama. Tidak hanya di sekolah, keluarga juga punya peran penting untuk menanamkan pengetahuan ini. Edukasi reproduksi seringkali dianggap tabu, padahal pemikiran ini yang harus segera dihilangkan. Generasi muda justru harus paham soal pengetahuan seks dan ragam risiko yang mungkin dihadapi jika melakukannya. Pentingnya pemberian edukasi terkait penggunaan kondom yang benar juga diperlukan, untuk memberi kesadaran dan pencegahan terjadinya penularan HIV/AIDS.
Edukasi juga merupakan salah satu cara mencegah HIV/AIDS, salah satunya melalui sosialisasi kesehatan. Tim Promosi Kesehatan Rumah Sakit bersama dengan Wakhyu Indriani memberikan edukasi pada hari Jumat, 7 Oktober 2022 pukul 08.00 WIB di depan Klinik Kulit dan Kelamin RSUD dr. Soeselo Kabupaten Tegal.
Dalam paparannya, Wakhyu menekankan bahwa HIV/AIDS hanya menular melalui hubungan seksual, berbagi jarum suntik, produk darah dan organ tubuh, serta ibu hamil positif HIV ke bayinya. Selain itu, infeksi HIV terjadi dalam jangka waktu 5-10 tahun dengan cara melemahkan sistem kekebalan tubuh (CD4). Ketika kekebalan tubuh menurun, rentan terkena berbagai macam jenis penyakit yang menyebabkan gejala oportunistik akibat virus HIV, hal inilah yang disebut sebagai AIDS.
Penderita HIV ini tidak dapat dilihat dari ciri atau penampilan fisiknya, meski virusnya sudah ada dalam tubuh seseorang tersebut, dan dapat menularkan ke orang lain. Satu-satunya cara adalah dengan melakukan pemeriksaan darah di laboratorium. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan VCT minimal setelah 3 bulan (90 hari) melakukan hubungan seks berisiko.
VCT atau Voluntary Counselling and Testing adalah layanan konseling dan tes HIV yang dilakukan secara sukarela (KTS). Layanan ini bertujuan untuk membantu pencegahan, perawatan, dan pengobatan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Layanan VCT dapat diakses secara gratis di Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.
Perlu diingat bahwa HIV/AIDS sampai saat ini belum bisa sembuh secara total, pengobatan menggunakan ARV (Anti Retroviral) hanya bertujuan untuk menekan jumlah virus dalam darah saja dan mencegah adanya penularan lebih banyak. Penderita HIV/AIDS harus rutin mengonsumsi ARV seumur hidupnya. ARV ini disedikan gratis oleh pemerintah.
Meski begitu, stigma terhadap penderita HIV/AIDS ini masih memprihatinkan, cap buruk di masyarakat membuat penderitanya banyak yang tidak bisa bertahan karena tidak mendapat dukungan dari lingkungan terdekatnya. Jadi, mari kita jauhi penyakitnya, bukan orangnya! Stop stigma dan diskriminasi! Yuk, kita mulai tanamkan pendidikan reproduksi sejak dini.
Penulis: Heni Purnamasari, SKM